Langsung ke konten utama

Hukum Memakai Kain Di bawah Mata Kaki (Isbal)

Isbal adalah menurunkan ujung kain ke bawah mata kaki. Hukumnya adalah makruh jika tidak dengan maksud sombong dan haram jika dengan maksud sombong. Berikut pendapat ulama mengenai hukum isbal, yaitu antara lain :

1. Berkata Qalyubi :

Disunatkan pada lengan baju memanjangnya sampai kepada pergelangan tangan dan pada ujung kain sampai kepada separuh betis. Makruh melebihi atas mata kaki dan haram dengan niat sombong.

2. Berkata An-Nawawi :

Dhahir hadits yang membatasi menurun kain dengan adanya sifat sombong, menunjukkan bahwa hukum haram itu khusus dengan adanya sifat sombong

3. Berkata an-Nawawi dalam Raudhah al-Thalibin :

Haram memanjang pakaian melewati dua mata kaki dengan kesombongan dan makruh dengan tanpa kesombongan. Tidak beda yang demikian pada shalat atau lainnya. Celana dan kain sarung pada hukum pakaian.

Berdasarkan keterangan di atas, menurunkan ujung kain kepada bawah mata kaki (isbal), hukumnya adalah makruh apabila tidak dengan sombong dan haram apabila dengan sikap sombong. Dalil kesimpulan ini adalah sebagai berikut :

1. firman Allah :

يَا بَنِي آدَمَ قَدْ أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآتِكُمْ وَرِيشًا وَلِبَاسُ التَّقْوَى ذَلِكَ خَيْرٌ ذَلِكَ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ

Artinya : Wahai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepada kalian pakaian untuk menutupi aurat kalian dan pakaian indah itu perhiasan. Dan pakaian taqwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebagian dari tanda kebesaran Allah. Mudah-mudahan mereka selalu ingat. (QS Al A'raf -26)

2. firman Allah :

وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ

Artinya : Dan janganlah engkau berjalan diatas muka bumi ini dengan sombong, karna sesungguhnya Allah SWT tidak suka kepada setiap orang yang sombong lagi angkuh.(Q.S.Luqman: 18 )

3. sabda Nabi SAW :

مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ مَخِيلَةً لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Artinya : Siapa yang menyeret pakaiannya karena sombong, Allah SWT tidak akan melihatnya di hari kiamat. ( HR Bukhari)

4. sabda Nabi SAW :

لَا يَنْظُرُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا

Artinya : Allah tidak akan melihat pada hari kiamat nanti orang-orang yang menurunkan kain sarungnya karena sombong (H.R. Bukhari).

5. sabda Nabi SAW : :

مَا أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ مِنْ الْإِزَارِ فَفِي النَّارِ

Artinya : Apa saja yang berada di bawah mata kaki berupa sarung, maka tempatnya di neraka.(H.R. Bukhari)

Setelah menyebut beberapa hadits yang senada dengan di atas, Ibnu Hajar al-Asqalany mengatakan :

Ithlaq ini dimaknai sesuai dengan hadits-hadits yang datang yangmembatasi dengan sifat sombong.

6. Rasullullah SِAW bersabda :

ثلاث لايكلمهم الله يوم القيامة المنان الذي لا يعطى شيأ إلا منه والمنفق سلعته بالحلف الفاجر والمسبل إزاره

Artinya : Ada tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah SWT di hari kiamat, yaitu: pengungkit pemberian yang tidak memberi sesuatu kecuali mengungkit-ungkitnya, orang yang menjual barang dagangannya dengan sumpah palsu dan seseorang yang melakukan isbal (menurunkan) kain sarungnya (H.R. Muslim)

Imam Nawawi dalam mensyarah hadits di atas, mengatakan :

“ Adapun sabda Nabi SAW almusbil izaarahu, maknanya adalah yang menurun ujung sarungnya karena sombong sebagaimana datang tafsirannya pada hadits lain, yaitu :

لا ينظر الله إلى من يجر ثوبه خيلاء

Artinya : Allah tidak akan melihat kepada orang yang menurunkan kainnya karena sombong

Khuyala’ adalah sombong. Menurunkan kain yang dihubungkan dengan sikap sombong ini mengkhususkan keumuman perkataan musbil izarahu dan menunjukkan bahwa orang yang dimaksudkan dengan ancaman itu adalah orang-orang yang menurunkan ujung kain sarungnya dengan sikap sombong.

7. Sabda Rasulullah SAW :

مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ إِنَّ أَحَدَ شِقَّيْ ثَوْبِي يَسْتَرْخِي إِلَّا أَنْ أَتَعَاهَدَ ذَلِكَ مِنْهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّكَ لَسْتَ تَصْنَعُ ذَلِكَ خُيَلَاءَ

Artinya : Barang siapa yang menurunkan pakaiannya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat. Lalu berkara Abu Bakar : “Wahai Rasulullah, sarungku sering melorot (lepas ke bawah) kecuali aku benar-benar menjaganya. Maka beliau bersabda :"Engkau tidak melakukannya karena sombong”.(H.R. bukhari) 

Menurut kami, kemakruhan isbal dengan sikap tidak sombong adalah karena dengan isbal dikuatirkan sulit terpelihara dari bersentuhan dengan najis atau adanya isbal dikuatirkan terjadi sikap sombong.

Apakah memakai kain di bawah mata kaki (isbal) membatalkan shalat

Untuk menetapkan bahwa sesuatu itu membatalkan shalat, tentu diperlukan dalil-dalil agama yang menerangkannya. Sejauh ini kita belum menemukan dalil, baik al-Qur’an maupun hadits, ataupun keterangan ulama yang menjelaskan bahwa memakai kain di bawah mata kaki dapat membatalkan shalat. Sedangkan hukum menggunakan kain di bawah mata kaki (isbal), hukumnya adalah hanya makruh dan keharamannya hanya apabila dengan sikap sombong, sebagaimana telah dijelaskan di atas. Kalaupun kita berpendapat bahwa isbal tersebut adalah haram (sekali lagi, ini seandainya), ini juga belum tentu menunjukkan bahwa isbal tersebut dapat membatalkan shalat. Banyak sekali kasus dalam fiqh Islam dimana perbuatan haram tidak membatalkan shalat seperti haram berwudhu’ dengan air rampasan, namun wudhu’nya sah. dan shalat pada tempat yang dirampas. Hal ini karena haram tidak identik dengan tidak sah. Bisa saja sesuatu perbuatan haram, tetapi ia sah. Karena itu, dalam ilmu ushul fiqh ada pembahasan khusus tentang apakah larangan (haram atau makruh) dapat menjadikan sesuatu fasid (tidak sah)?Jawabannya sebagai berikut :

Zakariya al-Anshari mengatakan dalam kitab ushul fiqh karya beliau, Ghayatul Wushul, sebuah kitab yang menjadi rujukan dalam bidang ilmu ushul fiqh bagi kalangan Mazhab Syafi’i di Indonesia dan dunia Islam umumnya, sebagai berikut :

والأصح ان مطلق النهى ولو تنزيها للفسادشرعا فى المنهى عنه ان رجع النهى فيما ذكراليه أو الى جزئه أو الى لازمه أوجهل مرجعه

Artinya : Menurut pendapat yang lebih shahih mutlaq Nahi (larangan) meskipun larangan tersebut makruh tanzih merupakan petunjuk kepada fasid (tidak sah) yang dilarang itu pada syara’, jika larangan itu kembali kepada dirinya ( ’ainnya),kembali kepada juzu’nya, atau kembali kepada lazimnya ataupun tidak diketahui tempat kembalinya.

Penjelasannya sebagai berikut :

1. Larangan dapat menjadi petunjuk kepada tidak sah yang dilarang itu apabila memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut :

a. Larangan itu kembali kepada diri (’ain) yang dilarang, seperti larangan shalat dan puasa atas orang yang berhaid. Alasan pelarangannya ini adalah karena shalat dan puasa disyaratkan suci dari haid. Dengan demikian, alasan pelarangannya kembali kepada diri shalat dan puasa itu sendiri.

b. Larangan itu kembali kepada juzu’ yang dilarang, seperti seperti larangan menjual buah-buahan yang belum jadi buah, masih dalam bentuk bunga melekat di batangnya. Alasan larangan ini karena belum ada benda yang dijual (salah satu rukun jual beli, yakni juzu’ akad jual beli)

c. Larangan itu kembali kepada lazim dari yang dilarang (sesuatu dimana yang dilarang itu tidak dapat lepas darinya), seperti larangan menjual satu dirham dengan harga dua dirham. Alasan pelarangannya karena tambahan yang lazim dengan sebab disyaratkan pada akad. Dan seperti shalat pada waktu makruh, dimana larangannya adalah karena waktu fasid yang lazim bagi shalat dengan mengerjakannya dalam waktu tersebut. Ini berbeda dengan mengerjakan shalat pada tempat makruh seperti kamar mandi, maka tidak menjadikan shalatnya tidak sah, karena tempat makruh tidak lazim bagi shalat dengan sebab mengerjakannya pada tempat itu. Hal ini dikarenakan dimungkinkan kamar mandi itu dirobah menjadi bentuk lain seperti mesjid.

d. Apabila tidak diketahui tempat kembalinya, maka larangan ini juga dapat menyebabkan tidak sah yang dilarang itu.

Adapun larangan yang tidak termasuk dalam kriteria tersebut di atas, maka tidak dapat mengakibatkan batal yang dilarang itu, contohnya antara lain :

1. Wudhu’ dengan air rampasan, dimana larangannya karena menghilangkan harta orang lain dengan sengaja. Wudhu’nya tetap sah, karena larangannya dilihat dari hal diluar wudhu’ dan tidak lazim baginya.

2. Jual beli pada waktu azan Jum’at, jual beli tersebut haram, namun akadnya tetap sah. Hal ini karena alasan larangan jual beli tersebut adalah menghilangkan kesempatan shalat Jum’at. Sedangkan menghilangkan kesempatan shalat Jum’at dapat juga terjadi bukan karena jual beli sebagaimana jual beli dapat terjadi tanpa ada menghilangkan kesempatan shalat Jum’at.

Penjelasan di atas beserta contoh-contohnya merupakan rangkuman dari kitab Ghayatul Wushul dan dalam Jam’ul Jawami’ karya al-Subki dan syarahnya karya Jalaluddin al-Mahalli Jalaluddin al-Mahalli dalam kitab ushul fiqhnya, Syarah Warqaat menyebut kedua contoh di atas sebagai contoh larangan karena suatu sifat eksternal yang tidak lazim bagi yang dilarang. Sedikit sebelumnya beliau mengatakan :

”Apabila larangan itu karena suatu sifat eksternal yang tidak lazim bagi yang dilarang, maka larangan itu tidak menunjuki kepada fasid.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perbedaan Jamak dengan Isim Jamak dan Isim Jenis Jam'i

1. Jamak adalah kata yang menunjukan kepada sekumpulan uhad (satu-persatu afrad atau unit) yang penunjukannya sebagaimana ‘athaf  satu-persatu mufrad kepada mufrad sebelumnya. Misalnya: ﺟﺎﺀ ﺭﺟﺎ ﻝ Rijaalun adalah jamak dari rajulun, Jadi kata rajulun adalah mufradnya, Maka maknanya sama dengan dikatakan : ﺟﺎﺀ ﺭﺟﻞ ﻭ ﺭﺟﻞ ﻭ ﺭﺟﻞ ﻭ ﺭﺟﻞ ﻭ ﺭﺟﻞ ...... ﺍﻟﺦ Dhamir yang digunakan untuk menunjuki Kalimat tersebut haruslah dhamir jamak, namun adakalanya Jamak Taksir berada pada Manzilah Taknis (taknis mufrad) seperti jamak taksir dari benda mati ataupun Isim Maknawi (ma’qul/ghairu mahsus). Tiada pula disifatkan kecuali dengan kata sifat berbentuk Jamak, dan tidak boleh dijadikan sebagai Tamyiz berdasarkan atas pendapat Shahih. Jamak pada memiliki bentuk atau wazan yang ma’ruf, serta memiliki mufrad dari sagi lafaz maupun makna. Namun adapula yang tidak memiliki mufrad namun berada dalam wazan jamak, misalnya wazan sighat muntahal jumu’. Jamak terbagi Tiga macam : Jamak Taksir Jamak Taksi...

Perbedaan Masdar dengan Isim Masdar dan Isim Dzat

Masdar adalah lafadh yang menunjukan makna huduts ( peristiwa ) tanpa disertai zaman serta memuat huruf fi'ilnya secara lafdhan. contoh : 'Alima - 'Ilman,  Qaatala - Qitaalan ( ﻋﻠﻢ ﻋﻠﻤﺎ  ﻗﺎﺗﻞ ﻗﺘﺎﻻ ) Isim Masdar adalah lafadh yang menunjukan makna huduts tanpa disertai zaman namun tidak memuat semua huruf fi' ilnya bahkan kadang dikurangi baik secara lafdhi maupun taqdiri tanpa ada ganti. Contoh : Kallama - Kalaaman, Tawaddhaa - Wudhuan ( ﺗﻮﺿﺄ ﻭﺿﻮﺃ ﻛﻠّﻢ ﻛﻼﻣﺎ ) jika ada lafadh yang tidak mempunyai makna huduts tetapi memuat semua huruf fi'ilnya maka di namakan isim dzat. Contoh : Kahala - Kuhlan ( calak ), Dahana - Duhnan ( minyak ) ( كحل  كحلا  دهن  دهنا)

Dalil Tahlil Hari ke 3, 7, 25, 40, Setahun dan Hari Keseribu Di Kerjakan oleh Umar dan Ulama-Ulama Salaf

Inilah Dalil tahlilan Jumlah Hari 3, 7, 25, 40, 100, (setahun) dan 1000 hari, dari kitab Ulama Ahlusunnah Wal Jama’ah ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺍﻟﺪﻋﺎﺀ ﻭﺍﻟﺼﺪﻗﺔ ﻫﺪﻳﺔ ﺇﻟﻰﺍﻟﻤﻮتى ﻭﻗﺎﻝ ﻋﻤﺮ : ﺍﻟﺼﺪﻗﺔ ﺑﻌﺪ ﺍﻟﺪﻓﻨﻰ ﺛﻮﺍﺑﻬﺎ ﺇﻟﻰ ﺛﻼﺛﺔ ﺃﻳﺎﻡ ﻭﺍﻟﺼﺪﻗﺔ ﻓﻰ ﺛﻼﺛﺔ ﺃﻳﺎﻡ ﻳﺒﻘﻰ ﺛﻮﺍﺑﻬﺎ ﺇﻟﻰ ﺳﺒﻌﺔ ﺃﻳﺎﻡ ﻭﺍﻟﺼﺪﻗﺔ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﺴﺎﺑﻊ ﻳﺒﻘﻰ ﺛﻮﺍﺑﻬﺎ ﺇﻟﻰ ﺧﻤﺲ ﻭﻋﺸﺮﻳﻦ ﻳﻮﻣﺎ ﻭﻣﻦ ﺍﻟﺨﻤﺲ ﻭﻋﺸﺮﻳﻦ ﺇﻟﻰ ﺃﺭﺑﻌﻴﻦ ﻳﻮﻣﺎ ﻭﻣﻦ ﺍﻷﺭﺑﻌﻴﻦ ﺇﻟﻰ ﻣﺎﺋﺔ ﻭﻣﻦ ﺍﻟﻤﺎﺋﺔ ﺇﻟﻰ ﺳﻨﺔ ﻭﻣﻦ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﺇﻟﻰ ﺃﻟﻒ ايام (الحاوي للفتاوي ,ج:۲,ص: ١٩٨ Artinya : Rasulullah saw bersabda: “Doa dan sedekah itu hadiah kepada mayit.” Berakata Umar : “ sedekah setelah kematian maka pahalanya sampai tiga hari dan sedekah dalam tiga hari akan tetap kekal pahalanya sampai tujuh hari, dan sedekah tujuh hari akan kekal pahalanya sampai 25 hari dan dari pahala 25 sampai 40 harinya akan kekal hingga 100 hari dan dari 100 hari akan sampai kepada satu tahun dan dari satu tahun sampailah kekalnya pahala itu hingga 1000 hari.” Referensi : (Al-Hawi lil Fatawi Juz II Hal 198)